September 07, 2009

Sepenggal Sisi Lain Kehidupan

secercah sinar matahari menembus lubang-lubang kecil atap rumahku menghangatkan tubuh ini. Ditemani secangkir kopi panas dengan ampasnya yang mulai turun. Hanya dibungkus kain sarung dan singlet aku duduk diberanda rumah merasakan sejuknya udara pagi. aku John Napitupulu, tinggal di sebuah rumah kontrakkan di daerah padat penduduk pinggiran Jakarta. Yaa, aku hanyalah seorang mantan petinju nasional di era 70-an. Dahulu namaku dielu-elukan oleh seantero jagat negeri ini. hanya bermodal TV buram milik pak RT, yang kebetulan hanya ada siaran TVRI, masyarakat Indonesia menontonku bertanding dengan lawan-lawanku. aku pun akhirnya pensiun karena terkena hantaman di mukaku dan divonis kelainan mata yang membuat aku mata ini buta sebelah. piala-piala serta medali terpampang rapi disebuah lemari besar yang sudah mulai usang tanda saksi bisu kejayaanku waktu itu. namun sekarang lemari ini hanya sebatas penyekat antara ruang tamu dan ruang keluarga. aku sendiri hidup ditemani seorang istriku yang bekerja sebagai pencuci kontemporer di sebuah rumah. hidupkupun pas-pasan, hanya mengandalkan tunjangan hari tua yang kuambil setiap bulan di Bank BRI.

belum pula kopi ini dingin, datanglah dua sahabat lamaku, teman mainku di sasana Harimau, tempat aku beradu otot waktu muda. mereka adalah Paulo Rumere dan Edward Silaban yang sama-sama atlet nasional membawa nama harum Indonesia. yaa, kami sudah seperti saudara karena hanya merekalah yang mengisi hari-hariku waktu itu. hari ini, kebetulan hari Olahraga nasional sehingga kami mendapat undangan dari pak menteri olahraga untuk hadir dalam upacara. akhirnya kami pun bergegas berangkat agar tidak terlambat. sesampainya disana, terlihat hiruk pikuk para legenda-legenda olahraga yang sangat terkenal. aku pun melihat sebuah bangku yang dihiasi sebuah kertas bertuliskan namaku. duduklah aku disana bersama kedua temanku itu. sesaat lagu Indonesia Raya dikumandangkan, aku tertegun dan menangis terngingat pada kala itu aku berdiri di atas podium mengangkat medali emas dengan dikumandangkannya lagu kebangsaan ini. aku pun masih ingat bagaimana deru-deru suara penonton sahut menyahut memanggil namaku membelaku. huff, itu sudah lama sekali.

setelah upacara selesai, aku bersepakat untuk mengunjungi makan temanku yang kebetulan tidak jauh dari situ. dia adalah Pieter Maniani, teman sasanaku yang tewas saat pertandingan. sesampainya disebuah pemakaman kecil, aku mencari-cari makamnya yang memang sudah lama tidak kukunjungi. setelah melihat kesana-kesini, akhirnya Edward menemukan makamnya. duuuh, malang sekali makam Pieter. daun-daun kering dimana-mana serta ilalang yang tumbuh tak beraturan, sama sekali tidak ada yang merawat. tanahnya pun hampir longsor, ngerri sekaligus sedih aku melihatnya. kamipun bergegas membersihkan makam Pieter. aku bergumam,"jangan iri saudaraku, hanya karena makammu yang terlihat seperti ini, tak seperti makam atlet legenda lainnya, namun perjuanganmu tetap sama, untuk mengumandangkan Indonesia Raya di mata dunia!" Nama kamu mungkin lupa tercatat di buku sejarah namun pasti akan selalu terpatri indah di pangkuan ibu pertiwi. setelah menabur bunga dan berdoa, akhirnya kami bertiga bergegas pulang.
sesampainya dirumah, aku melihat wajah istriku pucat dan lemah.
"kenapa bu?",tanyaku. "
"tidak apa-apa pak, oh iya ini saya bawakan tempe goreng lumayan untuk
mengganjal perut" sahut istriku
setelah istriku kembali ke dalam, aku melihat sepucuk surat yang telah terbuka dan akupun bergegas mengambilnya. sembari aku makan aku pun membacanya, ternyata benar dugaanku, surat dari pemda tentang penggusuran rumah. aku memang tinggal di lahan milik pemerintah sehingga sewaktu-waktu memang bisa digusur. "waah ternyata tenggatnya minggu depan", dalam hati ku berbicara. "Ya Allah cobaan apalagi yang kau berikan kepadaku. setelah kau merenggut dua buah hatiku, sekarang apalagi yang akan kau ambi? tak sekalian jiwa ini saja engkau cabut sehingga aku tidak perlu merasakan penderitaan ini", gumamku dalam hati.

gundah gulana hatiku ini bergejolak ingin marah namun tidak bisa berbuat apa. sedih yang kurasakan ini bertolak belakang dengan waktu muda, waktu kejayaanku dimana aku berpikir aku bakal hidup sejahtera di hari tua. para tetangga pun tidak ada yang mengenalku sebagai petinju nasional. seakan-akan semua hilang begitu saja tanpa ada bekas.
setiap malam aku merenung dan menunggu dengan hati gelisah. semoga ada keajaiban akan masalah ini.
"melamun saja pak?", tanya istriku
"ah, nggak bu, ibu nggak tidur?sudah malam?", tanyaku kembali
"yasudah ibu tidur duluan, jangan malem-malem tidurnya pak!", tegas istriku
hatinya lebih tegar menghadapi cobaan ini, mungkin istriku sudah merasa ikhlas tentang kenyataan yang ada. namun aku tidak boleh terlihat lemah di depan istriku, tak jarang pula mata ini berkaca-kaca bila mengingat kejadian ini.

akhirnya tibalah hari dimana rumahku akan digusur. aku dan istriku hanya bisa pasrahh melihat sisa-sisa dari apa yang kami miliki mesti dihancurkan tanpa sisa. saksi bisu selama lebih dari 30 tahun yang selalu menemaniku. sungguh kacau bangsa ini dan tidak akan pernah bisa maju. miris sekali nasibku dan mungkin juga nasib-nasib para atlet lain yang ternyata hidupnya bertolah belakang dengan masa kejayaanya. tidak pernah ada balas budi dari pemerintah tentang pengorbanan, air keringat yang mengucur atas semua itu. akhirnya aku bersama istriku berjalan meninggalkan rumah itu tanpa arah, tak tahu tujuan. kaki tua yang dahulu gagah di atas ring ini, menapaki setiap langkah di trotoar jalan raya. hari semakin malam, tak tahu mesti perginya kemana, hingga pada akhirnya jalan itu menjadi sangat terang dan putih di mana-mana. aku belum pernah merasakan keadaan seperti ini, dimanakah aku berada?aku pun melihat secercah cahaya titik putih namun aku baru sadar aku tidak bersama istriku lagi tak ada siapapun lagi. entah dimana aku berada dan seketika mata ini tertutup untuk selama-lamanya

*inspired by acak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar