Januari 30, 2010

Serpihan-Serpihan tak Menentu

hai telefon tak bertuan. tahukah engkau, gejolak ambiguisme bersandar keangkuhan ini terlalu kontradiktif dengan keperawanan lisan yang tak terjamah. genderang seorang humanis yang cenderung phobia dengan percikan-percikan terapi kejut menghasilkan sebuah tolak ukur untuk meretas hamparan kebahagian meskipun reruntuhan berkaliber sebesar apapun tak mampu menjadi suatu perjudian berupa persinggahan terakhir.

.apakah suatu harapan itu masih ada? .
.bagaimana bisa kesempatan akan datang untuk kedua kalinya?.
.mampukah mata hati melihat sekujur tubuh ini untuk bergegas serta merta tidak terusik dalam kesendirian?.
.untuk apa melangkah sedangkan hanya sepasang tangan yang dipunya?.
.namun semestinyakah jemari berkelit dari kejaran takdir?.
.seberapa besar gumaman itu dapat menghalau api neraka?.

gatal sekali rasanya, bukan lapisan epidermis ini, tetapi pikiran yang tak betah untuk terjun ke dalam polarisasi kehidupan yang berwarna. pernah kutawarkan dunia ini, namun kau membisu. tak cukup sampai disitu, kugadaikan setiap lekuk tubuh ini, kau pun hanya memalingkan raut wajah.

aku pun berdiam sejenak.
It's my shit.
luapan kegelisahan sesekali hadir dalam cerita.
that's an inspiration indeed,"I love you forever but forever is over"
"am I regret it?"
"should I?"

sang jenderal pun sudah berseru untuk menghentikkan seteru.
awak prajurit yang sudah kehabisan nyawa untuk berbisik kepada yang tercinta.
sudahi saja semuanya.
kegalauan selalu merajut lara.
insting seorang perintis pilu memang tak pernah keliru






Tidak ada komentar:

Posting Komentar